Wednesday, March 20, 2013

UN, momok menakutkan

Ujian Nasional bagi siswa SMA dan SMP atau yang sederajat telah selesai digelar. Tak lama lagi menyusul UAS BN bagi siswa SD. Seperti UN yang sudah-sudah, UN tahun ini pun dikabarkan diwarnai aksi kecurangan. Itu terjadi di berbagai daerah di seluruh penjuru tanah air Indonesia Raya ini.
Sekadar contoh kecil, di Bengkulu, guru ketahuan memberikan bocoran jawaban UN kepada peserta didiknya. Kejadian ini seakan mengulang peristiwa tahun lalu, sebuah kejadian menghebohkan dan tak terluipakan, ketika guru di sebuah sekolah di Deli Serdang digerebek tim Detasemen 88 Antiteror, karena membantu siswa mengerjakan soal UN.
Guru-guru itu merasa kasihan kepada para siswanya, saat UN mata pelajaran Bahasa Inggris, dan nekat melakukan perbuatan terlarang itu setelah melihat pena sang siswa tak bergerak saat mengerjakan soal-soal ujian nasional.
Bagaimanapun, tentu para guru itu tidak rela, bila nilai yang dicapai para siswa nantinya tidak mencapai angka minimal kelulusan. Karena bila itu terjadi, satu saja angka tidak lulus terjadi pada sebuah mata pelajaran yang di-UN-kan, maka musnahlah harapan yang telah dipupuk selama tiga tahun.
Dan inilah kenyataan yang terjadi, ketika kelulusan dan masa depan anak diserahkan pada angka. UN benar-benar telah menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian siswa, berikut orangtua murid dan tak terkecuali guru-guru. Pasalnya nilai UN hingga kini masih menjadi sebagai salah satu penentu kelulusan.
Bisa dibayangkan bila nilai tak memenuhi, seorang siswa terancam kehilangan kesempatan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Bayangan yang suram ini pun membuat mereka stres berat sebelum “bertanding”, bahkan ada yang sampai mengalami depresi.
Beban psikologis ini masih harus terus dipikul, hingga pengumuman hasil ujian. Mungkin setelah pengumuman ada yang bernapas lega. Namun sebaliknya, ada pula yang harus bertambah bebannya, karena hasilnya tidak seperti yang diharapkan.
Mungkin masih lekat dalam ingatan kita, peristiwa tahun lalu, ketika seorang siswa SMP nekat bunuh diri karena nilai UN salah satu mata pelajaran tidak memenuhi standar minimal kelulusan. Tak hanya bagi siswa, beban psikologis serupa dirasakan para orangtua. Sedangkan bagi guru-guru dan sekolah, UN menjadi standar keberhasilan kinerja, dan upaya mendongkrak citra. Sehingga ada sekolah tertentu yang melakukan segala cara agar hasil UN baik, dan nama sekolah terselamatkan di mata publik.
Sudah menjadi rahasia umum, di pelosok-pelosok, sejumlah sekolah terang-terangan memberikan kunci jawaban kepada peserta UN. Karut marutnya pelaksanaan UN di tanah Air, merupakan cermin karut marutnya pendidikan di negeri ini secara keseluruhan. UN hanyalah sekelumit dari seambreg masalah. Masalah lain menambah daftar panjang buruknya wajah pendidikan kita, termasuk sistem pendidikan yang tak mendukung, biaya yang tak terjangkau, kurikulum yang kacau, hingga korupsi para pejabatnya. UN itu perlu, tapi bukan untuk menentukan kelulusan.
UN hanya dibutuhkan untuk menjadi salah satu alat memetakan potensi dan kelemahan daerah terhadap kemampuan penyerapan pelajaran. Bila hasil UN Matematika di daerah X lemah, maka tugas pemerintah untuk melakukan segala cara memperbaikinya. Sudah waktunya pelajar Indonesia memperoleh pendidikan yang lebih membebaskan.
Biarkan mereka belajar karena senang. Biarkan mereka mengembangkan kreativitas tanpa ketakutan… jangan biarkan mereka terus terjebak pada sistem pendidikan yang berorientasi pada angka-angka.